A.
Pendahuluan
Banyak terdengar
keluhan bahwa pelajaran matematika membosankan, tidak menarik, tidak
menyenangkan dan bahkan penuh misteri. Ini disebabkan karena dalam pelajaran
matematika banyak simbol, dan selalu didominasi oleh angka-angka. Selain itu,
penyebab dari anggapan tersebut sering kali pelajaran matematika dirasakan
sukar, gersang, dan tidak tampak kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Kenyataan ini adalah sebuah persepsi yang negatif terhadap pelajaran matematika.
Sementara itu, ada juga anak didik yang sangat menikmati pelajaran matematika
dan merasa tertantang ingin memecahkan setiap soal-soal yang ada pada pelajaran
matematika. Kenyataan ini adalah sebuah persepsi positif terhadap pelajaran
matematika. Kedua persepsi ini pasti ada dalam dunia pendidikan matematika.
Yang kemudian menjadi masalah adalah masih berlakunya hingga detik ini
persepsi-persepsi negatif tersebut, bahkan lebih banyak dibandingkan dengan
persepsi positif. Mengapa demikian?
Banyak hal yang dapat
dikaji untuk mengungkap masalah persepsi negatif ini. Ada kemungkinan bersumber
dari porsi materi matematikanya sendiri yang tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan anak, ada kemungkinan bersumber dari strategi pembelajarannya yang
menyajikan aturan-aturan yang penuh misteri, tidak jelas asal-usulnya.
Sebaliknya, tidak sedikit pula hal yang dapat diupayakan untuk membentuk dan
menguatkan persepsi-persepsi positif terhadap pelajaran matematika.
Salah satu hal yang
dapat membantu para guru matematika dalam memahami karakteristik (ciri khas)
matematika bagaimana mengajarkannya, dan bagaimana cara belajarnya. Dengan
pemahaman yang lengkap diharapkan akan terbentuk persepsi positif yang pada
gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar anak. Terlebih dahulu dikenalkan
aspek materi matematika. Apa pengertian matematika sekolah? Apa yang
membedakannya dari mata pelajaran lain? Apa yang menjadi objek pelajarannya?
Kemudian dibahas aspek pembelajarannya: bagaimana prosesnya? Bagaimana
mengetahui keberhasilan pembelajarannya? Pada akhirnya akan dibahas
faktor-faktor potensi dan kendala dalam mencapai keberhasilan pembelajaran.
Dengan ulasan ini diharapkan para guru maupun calon guru matematika, dapat
mengambil sikap untuk meminimalkan masalah dan memaksimalkan potensi yang ada.
Sehingga dapat diharapkan hasil belajar yang maksimal juga. Pada akhirnya,
dibagian ini disampaikan bahwa titik awal dari proses pembelajaran matematika
adalah persepsi yang benar akan hakikat matematika, hakikat pengajaran, dan
hakikat pembelajaran. Persepsi ini selanjutnya menjiwai tindakan di dalam
proses pembelajaran.
B.
Intisari
Jika pertanyaannya “Mengajarkan matematika-mengajarkan apa?”
ditanyakan kepada sekelompok guru, maka akan diperoleh jawaban yang sangat
beragam. Hal ini sangat memungkinkan, oleh karena pertanyaan tersebut merupakan
pertanyaan sangat terbuka. Demikian juga jika pertanyaan serupa “belajar matematika, belajar apa?”
ditanyakan kepada anak, maka akan diperoleh jawaban yang sangat beragam pula.
Yang menarik untuk disimak adalah bahwa jawaban yang muncul dari setiap orang
(guru maupun anak) merupakan cerminan dari pandangannya terhadap matematika.
Setidaknya, itulah pikiran yang pertama muncul ketika menjawab pertanyaan itu.
Misalnya, dituliskan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang muncul, seperti:
“belajar
matematika adalah belajar tentang bilangan”
“ya,
belajar matematika, berarti kita belajar menjumlah, mengurang, mengali, dan
membagi”
“ada
Aljabar, ada Aritmatika, ada Geometri”
“kita
melihat pola-pola atau keteraturan pada suatu bentuk, baik bilangan maupun
geometri”
“ada
hubungan-hubungan antar konsep dan antar sifat sehingga konsep/sifat yang satu
diturunkan dari konsep/sifat sebelumnya”
“kita
belajar memecahkan masalah dengan cara membuat model matematika yang sesuai”
“belajar
matematika seperti bermain, hanya aturan permainannya sangat ajeg (konsisten)”
Cara pandang dari
jawaban itu antara lain dari segi isi; dari segi keindahan dan keteraturan;
dari segi penalaran; dari segi penerapan; dan dari segi kegiatan yang konsisten
dengan aturan. Cara pandang tertentu, akan sangat mempengaruhi tindakan
pengajarannya. Masalahnya sekarang adalah, cara
pandang manakah yang sebenarnya dikehendaki oleh pendidikan matematika dewasa
ini?.
Sebagai ilustrasi dapat ditelaah sebagai
berikut:
Andaikan bumi ini
bulat sempurna seperti bola (abaikan gunung-gunung dan lembah-lembah). Bumi ini
kita ikat dengan kawat pada garis ekuatornya dengan tepat membentuk lingkaran.
Kemudian kawat itu panjangnya ditambah sejauh 6 meter, sehingga kita bisa
membuat lingkaran yang lebih besar dan terjadi celah diantara kawat dan bumi. Siapakah yang bisa menerobos celah itu? Apakah
semut, tikus, kucing, atau buaya?.
Apa yang terjadi
dalam benak pembaca, menghadapi soal ini? Mungkin yang pertama muncul adalah
bisikan perasaan. Rasanya semut juga tidak dapat menerobos, apalah artinya 6
meter dibandingkan dengan keliling bumi. Barulah pikiran mulai bekerja. Muncul
konsep matematika yang terlibat dalam soal ini, antara lain lingkaran, keliling
lingkaran, rumus keliling lingkaran (K=2πr).
Keliling bertambah 6 meter, jadi keliling baru (K’=2πr
+ 6).
Keliling baru dengan jari-jari baru r’, sehingga menjadi K’=2πr’. Terdapatlah
persamaan 2πr’ = 2πr + 6. Ambil π ≈ 3. Maka
diperoleh r’ = r + 1, yang berarti jari-jari baru 1 meter lebihnya dari
jari-jari bumi. Jadi, celah itu setinggi 1 meter. Percayakah anda dengan
perasaan anda tadi?
Dari ilustrasi ini,
yang manakah matematikanya? Apakah hanya konsepnya, rumusnya, pelambangannya,
atau perhitungannya saja? Ataukah seluruh aktivitas pikiran tadi, mulai dari
memahami masalahnya, membayangkan dan membuat model/gambar, membuat kalimat
matematika persamaan, menyelesaikannya, dan menafsirkannya? Apakah yang
pertama, produk (body of knowledge) ataukah yang kedua, proses (human
activity), atau kedua-duanya? Yang dikehendaki dalam pendidikan matematika
adalah bahwa matematika dipandang sebagai produk (pengetahuan), dan proses
(kegiatan), antara lain melakukan percobaan, membuat dugaan, membuat simbol,
membuat model, menemukan pola, menafsirkan, membuktikan, menggeneralisasikan,
mengambil keputusan, dan mengkomunikasikan.
1. Matematika Sekolah:
Apa Maksudnya?
Dari
segi pengetahuan, matematika sangatlah luas dan dapat dikelompokkan dalam
subsistem sesuai dengan semesta pembicaraannya. Dalam setiap subsistem itu, ada
objek pembicaraan, ada metode pembahasan, dan selalu dipenuhi keajegan
(konsistensi) pembahasan. Pada dasarnya objek pembicaraan matematika adalah
objek abstrak, metodologinya adalah deduktif, yaitu berawal dari pengertian dan
pernyataan pangkal, kemudian pengertian dan pernyataan lain diturunkan dari
pengertian dan pernyataan pangkal atau pengertian dan pernyataan sebelumnya
yang telah dijelaskan atau dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, hubungan
antar pengertian atau pernyataan selalu konsisten, tidak bertentangan satu sama
lain.
Untuk
kepentingan pendidikan ditingkat dasar dan menengah, dengan pertimbangan
pedagogik, pokok bahasan-pokok bahasan dipilah-pilah sesuai dengan tahap
perkembangan intelektual anak. Oleh karena itu, banyak dilakukan
penyesuaian-penyesuaian, misalnya objeknya tidak mutlak abstrak (dimulai dari
konkret menuju ke abstrak); metodenya tidak mutlak deduktif, melainkan
dikenalkan juga metode eksperimental dan induktif (mulai dari pengalaman menuju
ke pengambilan kesimpulan dari kasus-kasus). Meskipun demikian, konsistensi
tetap dijaga, hanya saja ada kemungkinan terganggu akibat pertukaran urutan
pembicaraan. Matematika yang telah dipilah-pilah dan disesuaikan dengan tahap
perkembangan intelektual anak ini, disebut sebagai matematika sekolah.
Penyesuaian
ini dilakukan dengan sangat berjenjang. Di Sekolah Dasar (SD), lebih diutamakan
kepekaan terhadap bilangan (sense of numbers). Pengertian kepekaan terhadap
bilangan lebih luas daripada sekedar keterampilan berhitung. Ini juga meliputi
aspek perkiraan hasil hitungan, kelayakan penggunaan bilangan dan satuan dalam
pengukuran, serta penghargaan terhadap manfaat bilangan dan keindahan pola-pola
bilangan. Di Sekolah Lanjutan Pertama (SMP), sudah mulai mengembangkan bahasa
matematika melalui lambang-lambang (antara lain huruf sebagai peubah, kalimat
matematika persamaan dan pertidaksamaan, diagram, grafik, dan model lainnya).
Selain itu, mulai juga dikembangkan tata nalar untuk mengambil suatu
kesimpulan, meskipun masih dari kasus-kasus hasil percobaan atau melihat
pola-pola. Di Sekolah Menengah Atas (SMA), ditekankan pada aspek tata nalar
yang lebih tajam melalui pembuktian. Barulah di Perguruan Tinggi, matematika
diajarkan secara deduktif.
2. Karakteristik
Matematika: Apa yang membedakannya dari Mata Pelajaran Lain?
Memperhatikan
pengertian matematika sebagaimana diuraikan terdahulu, dapat diidentifikasikan
ciri-ciri khas matematika, yang membedakannya dari mata pelajaran lain, sebagai
berikut:
a.
Objek
Pembicaraannya Abstrak
Sekalipun
dalam pengajaran di sekolah, suatu konsep dikenalkan melalui benda konkret,
anak harus tetap didorong untuk melakukan proses abstraksinya, yaitu
mengabaikan atribut-atribut yang tidak penting, menangkap kesamaan-kesamaan
(abstraksi) dari objek-objek contoh tadi. Kemudian melakukan penyempurnaan
(idealisasi) untuk mempertajam pengertian, dan akhirnya menangkap pengertian
itu sebagai suatu konsep yang abstrak (generalisasi). Sebagai contoh konsep
lingkaran sebagai tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap satu
titik tertentu, hanya dapat dibayangkan dalam pikiran. Untuk sampai ke konsep
itu, anak dapat diberi contoh, misalnya mata uang, roda, cincin. Abaikan
atribut-atribut seperti bahannya, tebalnya, permukaannya, warnanya. Tangkap
kesamaan bentuk tepinya, bayangkan itu sebagai kumpulan titik-titik yang
jaraknya sama terhadap satu titik tertentu (lebih mudah pada contoh roda).
Sempurnakan bayangan itu seolah-olah titik-titik itu begitu rapatnya dan
membentuk kelengkungan yang sempurna. Konsep lingkaran terbentuk didalam
pikiran, yang selanjutnya dapat diterapkan pada mata uang, roda, cincin, dan
lainya.
b.
Pembahasannya
Mengandalkan Tata Nalar
Informasi
awal berupa pengertian atau pernyataan pangkal dibuat sangat efisien (seminimal
mungkin). Pengertian atau pernyataan lain harus dijelaskan atau
ditunjukkan/dibuktikan kebenarannya dengan tata nalar yang logis. Di SMP tata
nalar ini masih dalam bentuk penarikan kesimpulan berdasarkan pola atau
induktif, sedangkan di SMA sudah selayaknya dengan deduktif.
c.
Pengertian/Konsep
atau Pernyataan/Sikap Sangat Jelas Berjenjang sehingga Terjaga Konsistensinya
Sebagai
akibat dari ciri kedua, maka pengertian/konsep atau pernyataan/sifat sangat
jelas berjenjang sehingga terjaga konsistensinya. Konsep yang satu diterangkan
oleh konsep sebelumnya. Akan tidak dapat dipahami perkalian sebelum memahami
konsep penjumlahan. Segitiga siku-siku samakaki merupakan konsep pemaduan
segitiga siku-siku dan segitiga samakaki. Jumlah besar sudut dalam segitiga
sama dengan 180o dapat dipahami karena menerima pernyataan bahwa
besar sudut lurus sama dengan 180o yang sebelumnya telah disepakati
bahwa besar sudut satu putaran sama dengan 360o.
d.
Melibatkan
Penghitungan atau Pengerjaan (Operasi)
Objek
pelajaran selain berupa pengertian dan pernyataan yang harus dipahami, juga melibatkan penghitungan atau pengerjaan
(operasi) yang prosedurnya disusun sesuai dengan tata nalar tadi. Oleh
karena itu, belajar matematika tidak cukup dengan memahami tetapi juga berlatih
hingga terampil melakukan prosedur pengerjaan itu.
e.
Dapat
Dialihgunakan dalam Berbagai Aspek Keilmuan maupun Kehidupan Sehari-hari
Karena
sifatnya yang abstrak, maka matematika dapat dialihgunakan dalam berbagai aspel keilmuan maupun kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, ia menjadi
pelayan dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Matematika dapat bertindak
didunia fisik secara langsung seperti menghitung banyak rute perjalanan antara
dua kota, atau secara tidak langsung, seperti menghitung pertumbuhan sel atau
peluruhan atom dengan melalui ilmu biologi atau fisika.
3. Objek Pelajaran
Matematika: Apa yang Dipelajari?
Persepsi tentang matematika adalah berupa
produk pengetahuan yang telah tersusun, dan proses kegiatan yang dalam hal ini
matematika berperan sebagai bahasa, sebagai pola pikir dan sebagai alat.
Sebagai pengetahuan, matematika tersusun dari rangkaian pengertian-pengertian
(konsep), dan rangkaian pernyataan-pernyataan (hukum, sifat, teorema, dalil,
prinsip). Untuk efisiensi ungkapan (pembahasaan) tentang pengertian dan
pernyataan itu, matematika juga menciptakan lambang-lambang, nama-nama,
istilah-istilah, perjanjian-perjanjian (ini disebut fakta). Sedangkan untuk
penerapan dari pengertian dan pernyataan tadi, matematika menyusun
operasi/pengerjaan dan prosedurnya. Selain itu juga, matematika menyajikan
lukisan-lukisan yaitu penggambaran dari suatu bangun secara tepat memenuhi
aturan yang disyaratkan. Semua ini, menjadi objek langsung pelajaran
matematika, artinya secara langsung dipelajari dengan susunan yang jelas.
a.
Objek
Langsung
Objek
langsung pelajaran matematika menurut Bell, (1998) dapat digolongkan menjadi
empat hal, sebagai berikut:
1)
Fakta, yaitu
perjanjian atau semufakatan yang dibuat dalam matematika. Misalnya
lambang, nama, istilah, serta perjanjian (antara lain, bahwa satu putaran penuh
sama dengan 360o).
2)
Konsep, yaitu
pengertian abstrak yang memungkinkan seseorang menggolong-golongkan objek atau
peristiwa. Konsep ini ada yang dengan begitu saja diterima, karena memang
secara gambling dapat dimengerti (misal: himpunan, titik). Sedangkan konsep
lain diterangkan atau didefinisikan atau diberi batasan dengan menggunakan
konsep terdahulu. Misalnya pengertian bilangan prima dijelaskan dengan
pengertian faktor (bilangan prima adalah bilangan yang memiliki tepat 2
faktor). Pengertian factor dijelaskan sebagai bagian dari perkalian. Pengertian
perkalian dijelaskan sebagai penjumlahan berulang. Pengertian penjumlahan
dijelaskan sebagai penggabungan dua himpunan saling lepas. Jadi konsep-konsep
itu membentuk suatu jaringan konsep yang disebut juga peta konsep.
3)
Prinsip, yaitu
pernyataan yang menyatakan berlakunya suatu hubungan antara beberapa konsep.
Pernyataan itu dapat menyatakan sifat-sifat suatu konsep, atau hukum-hukum atau
teorema atau dalil yang berlaku dalam konsep itu. Sebagaimana halnya kosep,
prinsip juga berjenjang. Ada prinsip atau pernyataan yang dapat diterima
kebenarannya secara gambling, yang disebut pernyataan pangkal (aksioma).
Misalnya persegi panjang dapat menempati bingkainya tepat dengan 4 cara.
Pernyataan tentang sifat persegi panjang lainnya ditunjukkan kebenarannya
mellaui eksperimen pemasangan ubin persegi panjang itu (pendekatan
eksperimental). Contoh lainnya Teorema Pythagoras, Hukum Komutatif pada
penjumlahan, Dalil Menelaos pada segitiga yang pembuktiannya secara deduktif.
4)
Operasi
dan Prosedur, yaitu pengerjaan dan langkah-langkah pengerjaan.
Misalnya, langkah-langkah dalam perkalian bersusun, prosedur menyelesaikan
persamaan. Prosedur ini disebut juga algoritma. Prosedur ini mempercepat
pengerjaan, namun tetap didasari logika yang benar. Karena itu, objek ini
disebut juga sebagai skill.
Objek ini dipelajari secara langsung dan
terpadu, tidak terpisah-pisah. Dalam pembahasan satu subtopik, mungkin dimulai
dengan menangkap pengertiannya, kemudian mengenal penamaannya, kemudian
menyelidiki sifat-sifatnya, dan melakukan operasi serta menyusun langkah
kerjanya. Barulah kemudian beralih ke pengertian yang lain. Diantara
pengertian-pengertian yang telah diperoleh, masih harus disusun keterkaitannya
satu sama lain, sehingga membentuk suatu struktur konsep atau peta konsep.
Dengan struktur konsep yang terpadu itu, maka mulailah dihadapkan pada masalah
dalam konteks terapan dari konsep-konsep itu. Jadi terminal terakhir dari
pembelajaran matematika adalah Pemecahan
Masalah (problem solving). Oleh karena itu, esensi pengajaran matematika
adalah menghadapkan masalah (posing a
problem).
b.
Objek
Tak Langsung
Dalam mempelajari
objek langsung tersebut, secara tidak langsung juga terbentuk nilai dan sikap
matematis yang dialihgunakan dalam belajar mata pelajaran lain atau dalam
memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Nilai dan sikap itu antara lain
sebagai berikut:
1)
Kebiasaan
bekerja baik, misalnya bekerja sistematis, fleksibel, imaginatif
(mengandai-andai), kreatif, independen dalam berpikir dan bertindak,
bekerjasama, dan tepat arah.
2)
Sikap
positif,
misalnya berminat, termotivasi, dan menyenangi pekerjaan; menghargai tujuan dan
relevansi suatu pekerjaan; percaya diri akan kemampuan mengatasi masalah, dan
berusaha mencapai kepuasan maksimal dari hasil pekerjaan.
3)
Kemampuan
mengalihgunakan cara kerja, misalnya cara belajar yang efektif, cara
menyelidiki, cara memecahkan masalah, cara berpikir logis, rasional dan kritis,
dan menghargai keteraturan dan keindahan.
4)
Nilai-nilai
positif (akhlak yang baik), misalnya disiplin diri, jujur, efisien dan
efektif, menyesuaikan diri dengan semesta pembicaraan, setia pada kesepakatan,
gelisah dengan kontradiksi, selalu mencari kebenaran.
Dengan
demikian mengajarkan matematika ataupun belajar matematika, bertujuan membentuk
pengetahuan (objek langsung), dan kualitas pribadi (objek tak langsung),
yang tujuan akhirnya adalah agar anak sanggup menghadapi perubahan keadaan
didalam kehidupan atau dengan kata lain mampu memecahkan masalah.
Soleh,
M. (1998).
Pokok-pokok pengajaran matematika sekolah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar