Rabu, 18 Januari 2017

BELAJAR MATEMATIKA: POTENSI DAN KENDALANYA

Pendapat yang mengatakan bahwa mengajar adalah seni memang tidak salah. Bagaimana tidak, mengajar melibatkan intuisi, imaginasi, ekspresi, dan improvisasi. Intuisi merupakan bisikan dari dalam bahwa sesuatu itu baik atau tidak baik dilakukan. Imaginasi merupakan daya penghayalan tentang sesuatu yang lebih baik dari keadaan saat ini. Ekspresi merupakan penghayatan dalam penampilan. Dan improvisasi merupakan penyempurnaan penampilan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap keadaan. Pekerjaan mengolah kemungkinan-kemungkinan pendekatan mengajar tentu diarahkan ke suatu tujuan, yaitu agar anak dapat memfungsikan matematika sebagai cara komunikasi, cara pikir, dan alat memecahkan masalah. Untuk mencapai tujuan tersebut, matematika sarat dengan potensi (sumber daya) yang memungkinkan tercapainya tujuan tersebut. Namun disisi lain, bahwa matematika juga sarat dengan kendala yang menghalangi pencapaian tujuan itu. Disini, seni mengajar berperan megoptimalkan potensi yang ada dan meminimalkan kendala yang muncul.
A.    Potensi Matematika: Apa Kekuatannya?
Kekuatan matematika itu justru terletak pada keabstrakannya, yang memungkinkan kita dapat menerapkannya dalam berbagai konteks. Kekuatan lainnya terletak pada konsistensi hukum-hukumnya, yang memungkinkan kita dapat menguji kebenaran pernyataan-pernyataan yang masih disangsikan. Kekuatan lainnya, matematika mempunyai model, operasi, dan prosedur, yang memungkinkan kita dapat memecahkan masalah. Berikut diuraikan contoh-contoh potensi yang dimaksudkan
1.    Matematika sebagai Cara Komunikasi
Matematika memiliki lambang-lambang, nama-nama, istilah-istilah yang dapat dijadikan unsur bahasa. Kita dapat menerjemahkan suatu ungkapan dalam bahasa Indonesia menjadi ungkapan dalam bahasa matematika. misalnya, ungkapan bahwa syarat untuk mendapatkan SIM sekurang-kurangnya berumur 18 tahun. Matematika boleh melambangkan umur dengan huruf “U”; melambangkan sekurang-kurangnya dengan “≥”. Jadi, ungkapan tadi menjadi U ≥ 18. Tampak ungkapan matematika lebih singkat dan tepat. Sebaliknya, dari ungkapan bahasa Indonesia dalam berbagai koteks. Mengapa? Karena matematika membolehkan memilih lambang untuk sesuatu keperluan lokal, maka ia juga membolehkan menafsirkan secara bebas lambang yang dibuat secara lokal itu. Lambang “U” adalah lambang lokal tetapi lambang “” adalah konvensional. Selain itu, ungkapan matematika tidak menyebutkan satuan pengukuran, karena itu lambang “18” bebas ditafsirkan sebagai besaran waktu, berat, tinggi, panjang, luas atau volume. Ungkapan U ≥ 18 dapat ditafsirkan, sebagai berikut:
§  Jauh perjalananya (U) minimal 18 km
§  Kecepatannya (U) sekurang-kurangnya 18 km/jam
§  Lama perjalanannya (U) tidak kurang dari 18 jam
§  Berat bawaannya (U) minmal 18 kg
§  Luas pekarangannya (U) sekurang-kurangnya 18m2
Bahasa matematika dengan lambang banyak ragamnya, ada berbentuk kesamaan, ketidaksamaan, persamaan, pertidaksamaan, atau rumus fungsi. Kalimat majemuknya dapat dihubungkan dengan “dan” atau “atau”. Ada juga berbentuk “jika ... maka ...” bahkan “ .... jika dan hanya jika ....”.
Sebagai contoh:
§  Jumlah dua bilangan berurutan aadalah 11, diterjemahkan x + (x+1) = 11
§  Dengan Rp. 10.000,00, belilah sebanyak mungkin terigu dan gula yang masing-masing harganya Rp. 2.000,00 dan Rp. 3.000,00 per kg, diterjemahkan 2x + 3y ≤ 10
§  Harga 1 liter bensin Rp. 10.000,00, harga x liter bensin dinyatakan dengan h(x) = 10.000x
§  Jika saya lulus ujian, maka ayah membelikan sepeda, diterjemahkan menjadi p  q
§  Suatu segitiga adalah samakaki, jika dan hanya jika besar dua sudutnya sama, terjemahannya p  q
Selain dengan lambang, bahasa matematika juga menggunakan bentuk lain, yaitu tabel, diagram, dan grafik. Sebagai contoh:

Di kelas I ada 20 anak putra dan 10 anak putri. Di kelas II ada 25 anak putra, dan 15 anak putri. Di kelas III ada 20 anak putra dan 15 anak putri, disajikan dalam tabel berikut:
Kelas
Putra
Putri
I
20
10
II
25
15
III
20
15




Selanjutnya menjadi matriks  
Bahwa dari 40 anak, 30 anak menyenangi matematika, dan 20 anak menyenangi Geografi, digambarkan dengan diagram venn seperti berikut
Bahwa ada 3 atlet A, B, dan C melakukan perlombaan lari 100 m, dapat digambarkan dengan grafik, seperti berikut

1.    Matematika sebagai Cara Berpikir Nalar
Berpikir nalar dikembangkan dalam matematika dengan metode deduktif dan induktif. Berpikir nalar ini memungkinkan anak selalu bersikap kritis terhadap suatu pernyataan. Ia akan mempertanyakan mengapa demikian. Pada prinsipnya ia akan selalu mencari kebenaran yang masuk akal.
2.    Matematika sebagai Alat Memecahkan Masalah
Karena matematika memiliki model pembahasan, baik dengan lambang maupun dengan gambar, diagram atau grafik, maka masalah kehidupan sehari-hari atau masalah keilmuan dpat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika. selanjutnya, karena matematika memiliki operasi dan prosedur, maka model matematika itu dapat diolah untuk mencari pemecahan dari suatu masalah. Masalah yang dimaksud bukanlah soal-soal rutin, yang anak telah tahu cara menyelesaikannya, tetapi soal yang anak dapat mengerti apa yang ditanyakan, tetapi tidak tahu cara meyelesaikannya. Ia harus mencari strategi sendiri.
Sebagai contoh:
§  Jika ada 100 orang saling berjabat tangan, berapa banyak jabat tangan terjadi?
§  Bagaimana memperoleh 1 liter dari literan 3 liter dan 5 liter?
§  Berapakah angka satu pada 21024?
George Polya memberi petunjuk tentang langkah-langkah menyelesaikan masalah sebagai berikut:
Langkah 1 :    Pahami Masalahya; disini harus dikenali apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan apa kondisi (persyaratan)nya.
Langkah 2  :    Rencanakan Penyelesaiannya; disini harus dipikirkan alat dan strategi apa yang cocok diterapkan untuk pemecahan masalah itu. Yang dimaksud dengan alat adalah pengetahui berupa konsep-konsep atau rumus-rumus. Yang dimaksud dengan strategi adalah kombinasi teknik-teknik menyelesaikan masalah. Misalnya: menyederhanakan masalah, menggambar atau membuat model, mengamati kasus-kasus, memikirkan dari belakang, yaitu dari yang ditanyakan.
Langkah 3  :    Laksanakan Rencana; disini dilakukanlah proses pengolahan data dengan operasi dan prosedur yang direncanakan sampai ditemukan hasil.
Langkah 4  :    Menguji Kebenaran Hasil; disini ditelaah kembali kesahihan pengolahan data tadi, dicari keterbatasannya, atau dibuktikan bahwa hasil itu sudah daat dinyatakan dalam bentuk umum (generalisasi).
A.    Masalah Matematika: Apa Kendalanya?
Disisi lain dari potensi matematika, terdapat masalah dalam belajar matematika. masalah itu dapat datang dari karakteristik matematika dari media, dari anak atau dari gurunya.
1.    Masalah dari Karakteristik Matematika
Karakteristik matematika, yaitu objeknya yang abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan prosedur pengerjaannya banyak memanipulasi bentuk-bentuk, ternyata menimbulkan kesulitan dalam belajar matematika. anak memerlukan waktu dan peragaan untuk dapat menangkap konsep yang abstrak tersebut. Anak kesulitan mempelajari konsep berikutnya, jika konsep yang mendahuluina belum terbentuk dengan benar. Proses memanipulasi lambang-lambang dalam matematika, harus didasari pemahaman arti dari lambang-lambang itu. Anak yang tidak memiliki pemahaman, mudah tergelincir untuk memanipulasi. Misalnya, ia melihat gurunya membenarkan 2(a +b) = 2a + 2b. Anak dapat tergelincir, mengerjakan (a + b)2 = a2 + b2. Ketika gurunya mengalahkannya, si anak akan bingung.
2.    Masalah dari Media
Objek matematika dapat berupa satu dimensi, dimensi, atau tiga dimensi atau lebih. Oleh karenanya, perlu sekali adanya peragaan yang tepat. Jika objek tiga dimensi digambarkan dalam media dua dimensi, maka akan menimbulkan kesulitan sendiri bagi anak.
 Misalnya:


Hasil gambar untuk gambar kerucutMengapa sisi balok pada gambar di samping dikatakan semuanya persegi panjang? Mengapa rusuk kerucut pada gambar di samping dikatakan cuma satu?
Masalah lain dari media adalah bahwa objek matematika bukan hanya produk, tetapi juga proses. Misalnya pada transformasi, harus ditunjukkan proses pembentukan bayangan akibat suatu objek direfleksikan, dirotasikan, atau didilatasikan.
Masalah lainnya adalah bahasa matematika. Unsur bahasa lain simbol, huruf, dan kata.

Masalah dengan tipe ketiga, seperti membagi, sebangun, rata-rata, bundaran, ganjil, selisih, sejajar, alas, tinggi lebih rumit lagi. Anak tidak menyadari adanya perbedaan arti kata-kata tersebut dalam matematika dan dalam kehidupan sehari-hari. Anak bingung mendengar kata-kata guru bahwa sesama persegi panjang belum tentu sebangun. Alas segitiga kok boleh miring? Ada lagi masalah lain, bahwa kata yang sama mempunyai arti yang berbeda, misalnya basis bilangan, basis vektor, basis logaritma. Demikian juga alas segitiga dan alas balok; sisi persegi dan sisi kubus. Sisi persegi ada empat. Sisi kubus ada enam, mengapa bukan dua belas? Lebih rumit lagi bila dicampuradukkan antara bahasa sehari-hari dengan bahasa matematika, misalya “jika kamu mengalikan bilangan dengan sepuluh maka tambahkan nol pada bilangan itu”.
1.    Masalah Anak Didik
Setiap anak mempunyai kecepatan belajar yang berbeda, dan gaya belajar yang berbeda. Setiap anak mempunyai kecenderungan untuk membentuk konsep sendiri, yang akhirnya membentuk miskonsepsi. Beberapa gaya kognisi anak dapat dikenali sebagai berikut:
a.     Gaya Dependen atau Independen
Anak independen memandang objek dalam lingkungan sebagai tersendiri atau dapat dipisahkan dari lingkungannya, sebaliknya anak dependen sukar memisahkan bagian kecil dari suatu keseluruhan. Sebagai ilustrasi, perhatikanlah gambar berikut, temukanlah gambar sederhana (kiri) dari gambar di atas yang kompleks (kanan)
a.     Gaya Divergen atau Konvergen
Anak divergen berpikir meluas, mampu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan yang ada, sekalipun tidak tampak jelas kaitannya. Ia menarik kesimpulan dalam berbagai alternatif. Anak konvergen cenderung mempunyai fokus yang sempit atau membatasi pada pengetahuan yang jelas kaitannya. Sebagai ilustrasi, anak divergen mampu mencari lebih dari satu jawaban mengenai aturan pada barisan 1, 4, 9, 16, ...
b.    Gaya Reflektif atau Impulsif
Reflektif dan impulsif adalah derajat kecepatan bereaksi terhadap suatu stimulus. Anak impulsif sangat cepat bereaksi, tanpa perenungan yang cermat. Anak reflektif, lebih lambat bereaksi karena ia memerlukan perenungan terlebih dahulu.
1.    Masalah Guru
Setiap guru mempunyai persepsi sendiri tentang matematika, hakikat belajar dan mengajar. Setiap guru mempunyai gaya kognisi sendiri, gaya mengajar sendiri, dan mempunyai keterbatasan pengetahuan dan keterampilannya.
A.    Antara Masalah dan Potensi: Bagaimana Menyikapinya?
Selain anak yang tidak atau kurang menyenangi matematika, terdapat juga anak yang keasyikan dengan matematika. anak yang tidak menyenangi matematika, mungkin karena terbentur oleh masalah-masalah yang telah digambarkan sebelumnya, dan tidak mendapat kesempatan mengagumi kekuatan dan keindahan matematika seperti telah diuraikan sebelumnya. Anak yang merasa senang dan asyik dengan matematika, mungkin karena ia dapat menikmati indahnya bahasa matematika, cermatnya pola pikir matematika, dan ampuhnya prosedur-prosedur matematika untuk memecahkan masalah. Beberapa hal yang menyebabkan anak tidak berhasil dalam belajar matematika, adalah sebagai berikut.
1.    Penyebab  Anak Tidak Berhasil
a.     Anak Tidak Menangkap Konsep dengan Benar
Anak belum sampai ke proses abstraksi, masih dalam dunia konkret. Anak baru sampai ke pemahaman instrumen (instrumental understanding), yang hanya tahu contoh-contoh, tetapi tidak dapat mendeskripsikannya. Anak belum sampai ke pemahaman relasi (relational understanding), yang dapat menjelaskan hubungan antar konsep. Akibat berantainya, dia semakin mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep lainnya yang diturunkan dari konsep yang belum dikuasainya tadi. Jalan pintasnya, ia memberi pengertian sendiri dari konsep itu, ini diseut miskonsepsi.
b.    Anak Tidak Menangkap Arti dari Lambang-lambang
Anak hanya dapat menuliskan dan mengucapkan, sudah barang tentu anak tidak dapat menggunakannya. Akibat berantainya, semua kalimat matematika menjadi tak berarti baginya. Jalan pintasnya, anak memanipulasi sekehendaknya lambang-lambang itu.
c.     Anak Tidak Memahami Asal-Usulnya suatu Prinsip
Anak tahu apa rumusnya dan bagaimana menggunakannya, tetapi tidak tahu mengapa-nya. Akibatnya, ia tidak tahu dimana atau dalam konteks apa prinsip itu digunakan.
d.    Anak Tidak Lancar Menggunakan Operasi dan Prosedur
Ketidaklancaran menggunakan operasi dan prosedur terdahulu, berpengaruh lagi pada pemahaman prosedur yang berikutnya.

e.     Ketidaklengkapan Pengetahuan
Ketidaklengkapan pengetahuan ini akan menghambat kemampuannya untuk memecahkan masalah matematika. sementara itu, pelajarn terus berlanjut secara berjenjang. Jadilah matematika sebagai suatu misteri.
Bagaiman kita menyikapi masalah-masalah kesulitan belajar anak, sementara kita ketahui disisi lain ada potensi matematika. mungkin selama ini pengajaran kita kurang mencermati hambatan-hambatan ini, dan kita juga tidak mengetengahkan potensi-potensi matematika itu sendiri. Maka cara menyikapi kesulitan belajar anak adalah mengoptimalkan potensi dan meminimalkan masalah.
2.    Mengoptimalkan Potensi
a.    Mengaitkan pengalaman sehari-hari ke konsep matematika, dan sebaliknya mencari contoh pengalaman sehari-hari dari konsep matematika, membahasakan cerita sehari-hari ke bahasa matematika dan sebaliknya, membuat aneka cerita dari suatu bahasa matematika.
b.     Memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan pola, membuat dugaan, menggeneralisasikan, membuktikan, mengambil kesimpulan, membuat keputusan.
c.     Menyajikan soal-soal terapan dan soal tidak rutin (pemecahan masalah dan investigasi). Serta soal-soal rekreasi (teka-teki dan permainan).
3.    Meminimalkan Masalah
a.     Mengaitkan konsep baru dengan konsep yang telah dimiliki anak. Memberikan waktu dan pengalaman yang cukup untuk mengabstraksi suatu konsep. Membantu dengan peragaan yang tepat. Meminta anak menceritakan pemahamannya. Membenahi miskonsepsi sebelum melanjutkan ke konsep baru.
b.     Memberi arti setiap lambang dan meminta anak mengartikan (membahasakan) setiap lambang yang dituliskan. Menanyakan alasan dari pemakaian lambang.
c.     Menanyakan asal-usul suatu rumus, menanyakan konsep apa yang terlibat dalam rumus itu, dan dimana dipakai atau dipergunakannya.
d.     Memberikan latihan yang cukup dan berulang-ulang. Soal dibuat bertahap dari mudah ke sukar, dari elementer (melibatkan satu konsep) ke terpadu (melibatkan beberapa konsep), dari sederhana (satu langkah pikir) ke kompleks (beberapa langkah pikir), dari soal rutin ke pemecahan masalah dan penyelidikan, dari masalah komputasi (perhitungan) ke masalah analisis (membuktikan), dari soal serius ke soal rekreasi (teka-teki dan permainan)
Demikian beberapa kemungkinan mengoptimalkan potensi dan meminimalkan masalah, dengan harapan, anak tidak memandang matematika sebagai suatu misteri, tetapi sebagai kegiatan yang mengasyikkan.

Soleh, M. (1998). Pokok-pokok pengajaran matematika sekolah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar