Pendapat yang mengatakan bahwa mengajar adalah seni
memang tidak salah. Bagaimana tidak, mengajar melibatkan intuisi, imaginasi,
ekspresi, dan improvisasi. Intuisi merupakan bisikan dari dalam bahwa sesuatu
itu baik atau tidak baik dilakukan. Imaginasi merupakan daya penghayalan
tentang sesuatu yang lebih baik dari keadaan saat ini. Ekspresi merupakan
penghayatan dalam penampilan. Dan improvisasi merupakan penyempurnaan
penampilan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap keadaan. Pekerjaan
mengolah kemungkinan-kemungkinan pendekatan mengajar tentu diarahkan ke suatu
tujuan, yaitu agar anak dapat memfungsikan matematika sebagai cara komunikasi,
cara pikir, dan alat memecahkan masalah. Untuk mencapai tujuan tersebut,
matematika sarat dengan potensi (sumber daya) yang memungkinkan tercapainya
tujuan tersebut. Namun disisi lain, bahwa matematika juga sarat dengan kendala
yang menghalangi pencapaian tujuan itu. Disini, seni mengajar berperan
megoptimalkan potensi yang ada dan meminimalkan kendala yang muncul.
A. Potensi Matematika: Apa Kekuatannya?
Kekuatan matematika itu justru terletak pada
keabstrakannya, yang memungkinkan kita dapat menerapkannya dalam berbagai
konteks. Kekuatan lainnya terletak pada konsistensi hukum-hukumnya, yang
memungkinkan kita dapat menguji kebenaran pernyataan-pernyataan yang masih
disangsikan. Kekuatan lainnya, matematika mempunyai model, operasi, dan
prosedur, yang memungkinkan kita dapat memecahkan masalah. Berikut diuraikan
contoh-contoh potensi yang dimaksudkan
1. Matematika sebagai Cara Komunikasi
Matematika memiliki lambang-lambang, nama-nama,
istilah-istilah yang dapat dijadikan unsur bahasa. Kita dapat menerjemahkan
suatu ungkapan dalam bahasa Indonesia menjadi ungkapan dalam bahasa matematika.
misalnya, ungkapan bahwa syarat untuk mendapatkan SIM sekurang-kurangnya
berumur 18 tahun. Matematika boleh melambangkan umur dengan huruf “U”;
melambangkan sekurang-kurangnya dengan “≥”. Jadi, ungkapan tadi menjadi U ≥
18. Tampak ungkapan matematika lebih singkat dan tepat. Sebaliknya, dari
ungkapan bahasa Indonesia dalam berbagai koteks. Mengapa? Karena matematika
membolehkan memilih lambang untuk sesuatu keperluan lokal, maka ia juga
membolehkan menafsirkan secara bebas lambang yang dibuat secara lokal itu.
Lambang “U” adalah lambang lokal tetapi lambang “≥” adalah
konvensional. Selain itu, ungkapan matematika tidak menyebutkan satuan
pengukuran, karena itu lambang “18” bebas ditafsirkan sebagai besaran waktu,
berat, tinggi, panjang, luas atau volume. Ungkapan U ≥ 18 dapat
ditafsirkan, sebagai berikut:
§ Jauh perjalananya (U) minimal 18 km
§ Kecepatannya (U) sekurang-kurangnya 18 km/jam
§ Lama perjalanannya (U) tidak kurang dari 18 jam
§ Berat bawaannya (U) minmal 18 kg
§ Luas pekarangannya (U) sekurang-kurangnya 18m2
Bahasa matematika dengan lambang banyak ragamnya, ada
berbentuk kesamaan, ketidaksamaan, persamaan, pertidaksamaan, atau rumus
fungsi. Kalimat majemuknya dapat dihubungkan dengan “dan” atau “atau”. Ada juga
berbentuk “jika ... maka ...” bahkan “ .... jika dan hanya jika ....”.
Sebagai contoh:
§ Jumlah dua bilangan berurutan aadalah 11, diterjemahkan x
+ (x+1) = 11
§ Dengan Rp. 10.000,00, belilah sebanyak mungkin terigu dan
gula yang masing-masing harganya Rp. 2.000,00 dan Rp. 3.000,00 per kg,
diterjemahkan 2x + 3y ≤ 10
§ Harga 1 liter bensin Rp. 10.000,00, harga x liter bensin
dinyatakan dengan h(x) = 10.000x
§ Jika saya lulus ujian, maka ayah membelikan sepeda,
diterjemahkan menjadi p q
§ Suatu segitiga adalah samakaki, jika dan hanya jika besar
dua sudutnya sama, terjemahannya p q
Selain dengan lambang, bahasa matematika juga menggunakan
bentuk lain, yaitu tabel, diagram, dan grafik. Sebagai contoh:
Di kelas I ada 20 anak putra dan 10 anak putri. Di kelas
II ada 25 anak putra, dan 15 anak putri. Di kelas III ada 20 anak putra dan 15
anak putri, disajikan dalam tabel berikut:
Kelas
|
Putra
|
Putri
|
I
|
20
|
10
|
II
|
25
|
15
|
III
|
20
|
15
|
Selanjutnya menjadi matriks
Bahwa dari 40 anak, 30 anak menyenangi matematika, dan 20
anak menyenangi Geografi, digambarkan dengan diagram venn seperti berikut
Bahwa ada 3 atlet A, B, dan C melakukan perlombaan lari 100 m, dapat
digambarkan dengan grafik, seperti berikut
1. Matematika sebagai Cara Berpikir Nalar
Berpikir nalar dikembangkan dalam matematika dengan
metode deduktif dan induktif. Berpikir nalar ini memungkinkan anak selalu
bersikap kritis terhadap suatu pernyataan. Ia akan mempertanyakan mengapa
demikian. Pada prinsipnya ia akan selalu mencari kebenaran yang masuk akal.
2. Matematika sebagai Alat Memecahkan Masalah
Karena matematika memiliki model pembahasan, baik dengan
lambang maupun dengan gambar, diagram atau grafik, maka masalah kehidupan
sehari-hari atau masalah keilmuan dpat diterjemahkan ke dalam bahasa
matematika. selanjutnya, karena matematika memiliki operasi dan prosedur, maka
model matematika itu dapat diolah untuk mencari pemecahan dari suatu masalah.
Masalah yang dimaksud bukanlah soal-soal rutin, yang anak telah tahu cara
menyelesaikannya, tetapi soal yang anak dapat mengerti apa yang ditanyakan,
tetapi tidak tahu cara meyelesaikannya. Ia harus mencari strategi sendiri.
Sebagai contoh:
§ Jika ada 100 orang saling berjabat tangan, berapa banyak
jabat tangan terjadi?
§ Bagaimana memperoleh 1 liter dari literan 3 liter dan 5
liter?
§ Berapakah angka satu pada 21024?
George Polya memberi petunjuk tentang langkah-langkah
menyelesaikan masalah sebagai berikut:
Langkah 1 : Pahami
Masalahya; disini harus dikenali apa yang diketahui, apa yang ditanyakan,
dan apa kondisi (persyaratan)nya.
Langkah 2 : Rencanakan
Penyelesaiannya; disini harus dipikirkan alat dan strategi apa yang cocok
diterapkan untuk pemecahan masalah itu. Yang dimaksud dengan alat adalah
pengetahui berupa konsep-konsep atau rumus-rumus. Yang dimaksud dengan strategi
adalah kombinasi teknik-teknik menyelesaikan masalah. Misalnya: menyederhanakan
masalah, menggambar atau membuat model, mengamati kasus-kasus, memikirkan dari
belakang, yaitu dari yang ditanyakan.
Langkah 3 : Laksanakan
Rencana; disini dilakukanlah proses pengolahan data dengan operasi dan
prosedur yang direncanakan sampai ditemukan hasil.
Langkah 4 : Menguji
Kebenaran Hasil; disini ditelaah kembali kesahihan pengolahan data tadi,
dicari keterbatasannya, atau dibuktikan bahwa hasil itu sudah daat dinyatakan
dalam bentuk umum (generalisasi).
A. Masalah Matematika: Apa Kendalanya?
Disisi lain dari potensi matematika, terdapat masalah
dalam belajar matematika. masalah itu dapat datang dari karakteristik
matematika dari media, dari anak atau dari gurunya.
1. Masalah dari Karakteristik Matematika
Karakteristik matematika, yaitu objeknya yang abstrak,
konsep dan prinsipnya berjenjang, dan prosedur pengerjaannya banyak
memanipulasi bentuk-bentuk, ternyata menimbulkan kesulitan dalam belajar
matematika. anak memerlukan waktu dan peragaan untuk dapat menangkap konsep
yang abstrak tersebut. Anak kesulitan mempelajari konsep berikutnya, jika
konsep yang mendahuluina belum terbentuk dengan benar. Proses memanipulasi
lambang-lambang dalam matematika, harus didasari pemahaman arti dari
lambang-lambang itu. Anak yang tidak memiliki pemahaman, mudah tergelincir
untuk memanipulasi. Misalnya, ia melihat gurunya membenarkan 2(a +b) = 2a + 2b.
Anak dapat tergelincir, mengerjakan (a + b)2 = a2 + b2.
Ketika gurunya mengalahkannya, si anak akan bingung.
2. Masalah dari Media
Objek matematika dapat berupa satu dimensi, dimensi, atau
tiga dimensi atau lebih. Oleh karenanya, perlu sekali adanya peragaan yang
tepat. Jika objek tiga dimensi digambarkan dalam media dua dimensi, maka akan
menimbulkan kesulitan sendiri bagi anak.
Misalnya:
Mengapa sisi balok pada
gambar di samping dikatakan semuanya persegi panjang? Mengapa rusuk kerucut
pada gambar di samping dikatakan cuma satu?
Masalah lain dari media adalah bahwa objek matematika
bukan hanya produk, tetapi juga proses. Misalnya pada transformasi, harus
ditunjukkan proses pembentukan bayangan akibat suatu objek direfleksikan,
dirotasikan, atau didilatasikan.
Masalah lainnya adalah bahasa matematika. Unsur bahasa
lain simbol, huruf, dan kata.
Masalah dengan tipe ketiga, seperti membagi, sebangun,
rata-rata, bundaran, ganjil, selisih, sejajar,
alas, tinggi lebih rumit lagi. Anak tidak menyadari adanya
perbedaan arti kata-kata tersebut dalam matematika dan dalam kehidupan
sehari-hari. Anak bingung mendengar kata-kata guru bahwa sesama persegi
panjang belum tentu sebangun. Alas segitiga kok
boleh miring? Ada lagi masalah lain, bahwa kata yang sama mempunyai arti yang
berbeda, misalnya basis bilangan, basis vektor, basis
logaritma. Demikian juga alas segitiga dan alas balok;
sisi persegi dan sisi kubus. Sisi persegi ada
empat. Sisi kubus ada enam, mengapa bukan dua belas? Lebih rumit lagi bila
dicampuradukkan antara bahasa sehari-hari dengan bahasa matematika, misalya
“jika kamu mengalikan bilangan dengan sepuluh maka tambahkan nol pada bilangan
itu”.
1. Masalah Anak Didik
Setiap anak mempunyai kecepatan belajar yang berbeda, dan
gaya belajar yang berbeda. Setiap anak mempunyai kecenderungan untuk membentuk
konsep sendiri, yang akhirnya membentuk miskonsepsi. Beberapa gaya kognisi anak
dapat dikenali sebagai berikut:
a. Gaya Dependen atau Independen
a. Gaya Divergen atau Konvergen
Anak divergen berpikir meluas, mampu menghubungkan
pengetahuan-pengetahuan yang ada, sekalipun tidak tampak jelas kaitannya. Ia
menarik kesimpulan dalam berbagai alternatif. Anak konvergen cenderung
mempunyai fokus yang sempit atau membatasi pada pengetahuan yang jelas
kaitannya. Sebagai ilustrasi, anak divergen mampu mencari lebih dari satu
jawaban mengenai aturan pada barisan 1, 4, 9, 16, ...
b. Gaya Reflektif atau Impulsif
Reflektif dan impulsif adalah derajat kecepatan bereaksi
terhadap suatu stimulus. Anak impulsif sangat cepat bereaksi, tanpa perenungan
yang cermat. Anak reflektif, lebih lambat bereaksi karena ia memerlukan
perenungan terlebih dahulu.
1. Masalah Guru
Setiap guru mempunyai persepsi sendiri tentang
matematika, hakikat belajar dan mengajar. Setiap guru mempunyai gaya kognisi
sendiri, gaya mengajar sendiri, dan mempunyai keterbatasan pengetahuan dan
keterampilannya.
A. Antara Masalah dan Potensi: Bagaimana Menyikapinya?
Selain anak yang tidak atau kurang menyenangi matematika,
terdapat juga anak yang keasyikan dengan matematika. anak yang tidak menyenangi
matematika, mungkin karena terbentur oleh masalah-masalah yang telah digambarkan
sebelumnya, dan tidak mendapat kesempatan mengagumi kekuatan dan keindahan
matematika seperti telah diuraikan sebelumnya. Anak yang merasa senang dan
asyik dengan matematika, mungkin karena ia dapat menikmati indahnya bahasa
matematika, cermatnya pola pikir matematika, dan ampuhnya prosedur-prosedur
matematika untuk memecahkan masalah. Beberapa hal yang menyebabkan anak tidak
berhasil dalam belajar matematika, adalah sebagai berikut.
1. Penyebab Anak
Tidak Berhasil
a. Anak Tidak Menangkap Konsep dengan Benar
Anak belum sampai ke proses abstraksi, masih dalam dunia
konkret. Anak baru sampai ke pemahaman instrumen (instrumental understanding),
yang hanya tahu contoh-contoh, tetapi tidak dapat mendeskripsikannya. Anak
belum sampai ke pemahaman relasi (relational understanding), yang dapat
menjelaskan hubungan antar konsep. Akibat berantainya, dia semakin mengalami
kesulitan dalam memahami konsep-konsep lainnya yang diturunkan dari konsep yang
belum dikuasainya tadi. Jalan pintasnya, ia memberi pengertian sendiri dari
konsep itu, ini diseut miskonsepsi.
b. Anak Tidak Menangkap Arti dari Lambang-lambang
Anak hanya dapat menuliskan dan mengucapkan, sudah barang
tentu anak tidak dapat menggunakannya. Akibat berantainya, semua kalimat
matematika menjadi tak berarti baginya. Jalan pintasnya, anak memanipulasi
sekehendaknya lambang-lambang itu.
c. Anak Tidak Memahami Asal-Usulnya suatu Prinsip
Anak tahu apa rumusnya dan bagaimana menggunakannya,
tetapi tidak tahu mengapa-nya. Akibatnya, ia tidak tahu dimana atau dalam
konteks apa prinsip itu digunakan.
d. Anak Tidak Lancar Menggunakan Operasi dan Prosedur
Ketidaklancaran menggunakan operasi dan prosedur
terdahulu, berpengaruh lagi pada pemahaman prosedur yang berikutnya.
e. Ketidaklengkapan Pengetahuan
Ketidaklengkapan pengetahuan ini akan menghambat
kemampuannya untuk memecahkan masalah matematika. sementara itu, pelajarn terus
berlanjut secara berjenjang. Jadilah matematika sebagai suatu misteri.
Bagaiman kita menyikapi masalah-masalah kesulitan belajar
anak, sementara kita ketahui disisi lain ada potensi matematika. mungkin selama
ini pengajaran kita kurang mencermati hambatan-hambatan ini, dan kita juga
tidak mengetengahkan potensi-potensi matematika itu sendiri. Maka cara
menyikapi kesulitan belajar anak adalah mengoptimalkan potensi dan meminimalkan
masalah.
2. Mengoptimalkan Potensi
a. Mengaitkan pengalaman sehari-hari ke konsep matematika,
dan sebaliknya mencari contoh pengalaman sehari-hari dari konsep matematika,
membahasakan cerita sehari-hari ke bahasa matematika dan sebaliknya, membuat
aneka cerita dari suatu bahasa matematika.
b. Memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan pola,
membuat dugaan, menggeneralisasikan, membuktikan, mengambil kesimpulan, membuat
keputusan.
c. Menyajikan soal-soal terapan dan soal tidak rutin
(pemecahan masalah dan investigasi). Serta soal-soal rekreasi (teka-teki dan
permainan).
3. Meminimalkan Masalah
a. Mengaitkan konsep baru dengan konsep yang telah dimiliki
anak. Memberikan waktu dan pengalaman yang cukup untuk mengabstraksi suatu
konsep. Membantu dengan peragaan yang tepat. Meminta anak menceritakan
pemahamannya. Membenahi miskonsepsi sebelum melanjutkan ke konsep baru.
b. Memberi arti setiap lambang dan meminta anak mengartikan
(membahasakan) setiap lambang yang dituliskan. Menanyakan alasan dari pemakaian
lambang.
c. Menanyakan asal-usul suatu rumus, menanyakan konsep apa
yang terlibat dalam rumus itu, dan dimana dipakai atau dipergunakannya.
d. Memberikan latihan yang cukup dan berulang-ulang. Soal
dibuat bertahap dari mudah ke sukar, dari elementer (melibatkan satu konsep) ke
terpadu (melibatkan beberapa konsep), dari sederhana (satu langkah pikir) ke
kompleks (beberapa langkah pikir), dari soal rutin ke pemecahan masalah dan
penyelidikan, dari masalah komputasi (perhitungan) ke masalah analisis
(membuktikan), dari soal serius ke soal rekreasi (teka-teki dan permainan)
Demikian beberapa kemungkinan mengoptimalkan potensi dan
meminimalkan masalah, dengan harapan, anak tidak memandang matematika sebagai
suatu misteri, tetapi sebagai kegiatan yang mengasyikkan.
Soleh, M. (1998). Pokok-pokok
pengajaran matematika sekolah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta:
Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar